Oleh : Ingki Rinaldi
Situs Trowulan di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, yang menyimpan sejarah Kerajaan Majapahit, sudah dikenal dalam komunitas dunia ilmiah sejak awal abad ke-20. Berbagai penelitian dilakukan untuk mengungkapkan seluruh aspek kebesaran Kerajaan Majapahit.
Meski
demikian, belum ada hasil penelitian yang bisa menunjukkan letak
persisnya lokasi kedaton (puri) Wilwatikta Kerajaan Majapahit. Hingga
kini, Trowulan yang secara administratif adalah salah satu kecamatan di
Kabupaten Mojokerto dikenal luas sebagai kemungkinan ibu kota Kerajaan
Majapahit.
Itulah
yang kemudian melandasi Penelitian Arkeologi Terpadu Indonesia (PATI)
I, yang tahapannya sudah dimulai sejak Juni 2008 dan akan diakhiri
penulisan dan publikasi laporan pada November 2008.
Inilah
penelitian pertama di Indonesia yang dilakukan bersama oleh 20 dosen
dan 80 mahasiswa dari Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah
Mada (UGM), Universitas Hasanuddin (Unhas), dan Universitas Udayana
(Unud) Bali.
Fokus
penelitian tersebut terentang dalam wilayah seluas kira-kira 1
kilometer x 1 kilometer yang meliputi Blok Kedaton, Sentonorejo, dan
Nglinguk. Tim peneliti menentukan wilayah yang diduga sebagai ibu kota
Kerajaan Majapahit dan jantung situs Trowulan itu berdasarkan
jalur-jalur kanal kuno yang saling berpotongan.
Dalam
foto udara yang dirilis Bakosurtanal pada tahun 1970-an, terlihat jelas
citra kanal-kanal kuno itu membagi situs Majapahit dalam beberapa
wilayah berbentuk persegi panjang.
Pada
wilayah itulah terdapat blok persegi yang meliputi Blok Kedaton. Juga
peninggalan Candi Kedaton, Lantai Segi Enam, dan deretan batu besar (16
umpak) yang sudah digali. Selain itu, terdapat pula Sumur Upas yang
dipergunakan masyarakat. Data itulah yang dipakai sebagai bagian penguat
hipotesis bahwa di lokasi seluas 1 kilometer persegi itulah terdapat
Kedaton Majapahit.
Batas-batas tembok
Hingga
berakhirnya ekskavasi, ada 36 kotak galian yang sudah dibuka dan satu
kotak galian percobaan. Menurut Koordinator Ekskavasi dan Survei PATI I
Cecep Eka Permana, dari sejumlah hasil temuan hingga penggalian hari
terakhir, hipotesis bahwa lokasi Kedaton Majapahit ada di sekitar lokasi
ekskavasi semakin kuat. ”Sekitar 80 persen kemungkinannya,” ujar Cecep.
Temuan-temuan
yang dihasilkan selama ekskavasi itu berupa batas-batas tembok yang
berada pada kedalaman antara satu meter hingga tiga meter di bawah
permukaan tanah. Temuan bangunan yang diduga sebagai batas-batas tembok
kedaton itu cukup menggembirakan karena paling tidak sesuai dengan
uraian dalam Nagarakrtagama yang di antaranya menyebutkan kedaton
dikelilingi dan disekat-sekat oleh tembok pembatas.
Dalam
penggalian tersebut, temuan yang menjadi catatan kuat adalah bukti
adanya batu bata besar dalam dua ukuran yang berbeda. Pertama, batu bata
ukuran 34 cm x 77 cm x 7 cm dan 31 cm x 18 cm x 8 cm.
Struktur
batu bata secara masif itu, menurut Cecep, tidak ditemukan di sejumlah
blok lain pada situs Trowulan. ”Universitas Indonesia setiap tahun juga
melakukan penggalian, tetapi kami tidak pernah menemukan struktur batu
bata yang konsentrasinya seperti kali ini,” ujar Cecep yang juga dosen
pada Departemen Arkeologi UI itu.
Tim
peneliti gabungan juga telah menemukan sumur, kanal air, pecahan
tembikar, pecahan keramik, pecahan logam, dan tulang belulang hewan yang
melengkapi temuan. Namun, hingga saat ini belum dapat dilakukan
analisis lebih jauh soal perkiraan umur barang-barang temuan itu,
termasuk menentukan jenis logam apa yang sudah ditemukan.
Penanggung
Jawab PATI I Irma M Johan, yang juga Ketua Departemen Arkeologi UI,
menyebutkan, hingga saat ini yang dirasakan kerap jadi kendala adalah
upaya untuk menentukan umur peninggalan barang-barang hasil penggalian.
Pasalnya, analisis untuk menentukan umur barang-barang peninggalan
dengan menggunakan teknik analisis bekas-bekas karbon yang ditinggalkan
masih harus dilakukan di luar negeri.
”Kalau
hanya analisis pollen (serbuk sari tanaman) bisa dilakukan di
Indonesia, tetapi kalau karbon masih harus ke luar negeri,” ujar Irma.
Persoalan itu makin besar karena biaya yang dibutuhkan untuk melakukan
analisis di luar negeri secara otomatis akan membengkak.
Bantuan Hashim
Penelitian
itu terlaksana dengan bantuan Yayasan Keluarga Hashim Djojohadikusumo
(YKHD). Direncanakan, pada tahun depan PATI II akan kembali dilakukan
sekalipun belum dapat dipastikan apakah lokasinya akan kembali berada di
situs Trowulan ataukah di situs-situs peninggalan sejarah lainnya.
Irma
M Johan menyebutkan, pada awalnya ego dan perasaan unggul dari sejumlah
individu yang berasal dari empat universitas itu memang muncul.
Tarik-menarik terutama terjadi dalam penentuan metode apa yang hendak
digunakan dalam proses penelitian itu.
Terutama
metode yang akan digunakan dalam proses ekskavasi atau penggalian
arkeologis yang menjadi jantung kegiatan penelitian itu. Akhirnya
diputuskan menggali dengan sistem grid yang membagi wilayah penggalian
menjadi kotak-kotak berukuran 1,5 meter x 1,5 meter dengan kedalaman
penggalian yang bervariasi. “Kami juga akhirnya sepakat untuk memakai
metode penggalian lot ketimbang spit, atau layer,” kata Cecep.
Direktur
PATI I Niken Wirasanti menjelaskan, selain ditujukan untuk
mengungkapkan lokasi persis kedaton situs Trowulan, penelitian bersama
itu juga dimaksudkan untuk menyamakan metode dan standar kompetensi
arkeolog. ”Banyak manfaatnya bagi kami. Ini sangat bagus untuk
standardisasi,” sebut I Nyoman Wardi, Ketua Jurusan Arkeologi Fakultas
Sastra Unud.
Ketua
Jurusan Arkeologi Unhas, Makassar, Anwar Thosibo mengutarakan
pengungkapan lokasi kedaton situs Trowulan bermanfaat untuk menemukan
sampai seberapa jauh kaitan antara Majapahit dan kerajaan lainnya di
Indonesia.
Niken
menambahkan, hasil penelitian nantinya akan didokumentasikan di Pusat
Informasi Majapahit, Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Niken menyebutkan,
relatif tumpang tindihnya informasi selama ini perihal lokasi kedaton di
situs Trowulan akan coba diurai dalam penelitian tersebut.
Ancaman serius
Namun,
upaya penelitian untuk mengungkapkan kekayaan dan kejayaan budaya
Kerajaan Majapahit itu harus berhadapan dengan ancaman dari tuntutan
ekonomis masyarakat sekitar. Ancaman itu berupa industri pembuatan batu
bata yang banyak dilakukan masyarakat di sekitar lokasi situs Trowulan.
Tidak
kurang 6,2 hektar lahan di situs Trowulan yang menjadi pusat
peninggalan arkeologi Kerajaan Majapahit harus rusak setiap tahun akibat
penggalian tanah sebagai bahan baku pembuatan batu bata. Luas lahan
yang mengalami kerusakan dimungkinkan semakin bertambah mengingat
maraknya pembuatan batu bata di kawasan itu.
Jika
tidak ada upaya serius dari berbagai pihak, niscaya kemegahan
peninggalan sejarah Kerajaan Majapahit akan benar-benar hilang tanpa
pernah ditemukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar