Photobucket

Minggu, 20 Mei 2012

Keris Pusaka Bugis-Makassar

Kompas
Pembuatan Kawali Berlangsung dalam Suasana Ritual


 
Menurut mitos yang berkembang di Sulawesi Selatan, sejak zaman purbakala manusia pertama di wilayah ini yang disebut Tumanurung (orang yang turun dari kayangan) muncul di daerah Luwu. Karena itu, menurut para sejarawan, kerajaan pertama di bumi Sulawesi adalah Kerajaan Luwu.
Dari kerajaan tua inilah lahir suatu karya tulis yang amat akbar di sekitar abad ke-12, yaitu Sureq Galigo—ketebalannya melebihi Mahabharata dari India—yang diperkirakan lebih dari 10.000 halaman folio, ditulis di atas daun lontar berbahasa Bugis kuno.
Kekayaan budaya Kerajaan Luwu lainnya adalah keris pusaka, terutama di kalangan orang Bugis-Makassar. Nama-nama keris seperti kaleo, sambang, gecong, dan tappi, disinyalir berasal dari Luwu, tetapi sejak lama diyakini sebagai keris pusaka orang Bugis pada umumnya.
Keris dalam bahasa Bugis disebut kawali, dan dalam bahasa Makassar dinamakan seleq. Fungsi keris berbeda dengan senjata tajam lainnya, misalnya badik. Penikaman, pembunuhan, dan tindak kekerasan lainnya di kalangan orang Bugis-Makassar umumnya berkaitan dengan penggunaan badik. Badik sebenarnya adalah pisau yang bersarung. Bentuknya lebih pendek daripada keris, tidak ada liukan, dan tidak ada urat. Badik pun umumnya lebih banyak didapatkan pada orang-orang Makassar, sementara orang Bugis lebih gemar "memelihara" kawali.
"Keris atau kawali itu sebenarnya tidak dimaksudkan untuk dijadikan alat berkelahi atau sejenisnya. Kawali bukan untuk membunuh, melainkan untuk kesejahteraan, perdamaian, dan keselamatan," kata Putra Jaya, pemilik dan pemelihara 160-an keris pusaka Sulawesi Selatan. Usia keris pusaka yang dimilikinya rata-rata sudah lebih dari 100 tahun. 


Bukan dari logam
Putra mengaku sudah dua kali masuk Istana Presiden di Jakarta dengan membawa keris pusaka di pinggangnya, tetapi kawali tersebut tidak terdeteksi oleh detektor. Mengapa demikian?
"Pada tahap awal pembuatan keris, bahannya bukan dari besi atau jenis logam lainnya, melainkan dari batu meteor yang telah mengeras. Karena itulah kawali tidak terdeteksi oleh detektor metal," katanya.
Menurut Putra, setiap kawali punya aura yang biasa juga disebut pamor. Panrita (empu) kawali tidak punya kemampuan menciptakan pamor pada keris. Pamor itu tercipta sendiri setelah keris selesai ditempa. "Jadi, keris memang punya daya magis," kata Putra lagi.
Aura atau pamor itulah yang menentukan keampuhan dan atau kekuatan daya magis sebuah kawali. "Ada beberapa keris jenis sambang yang dari auranya itu membuat binatang buas seperti singa dan ular berbisa tidak berani mendekat. Inilah keris yang pamornya ’tolak bala’. Ada pula keris yang tergolong jenis toasi. Keris semacam ini cocok dimiliki para pedagang dan atau saudagar atau pengusaha, sebab auranya diyakini berkaitan dengan peraihan rezeki, mendatangkan kesejahteraan dan ketenteraman hidup," papar laki-laki asal Kabupaten Soppeng yang telah berusia 58 tahun tersebut menambahkan.
Keris jenis toasi yang sangat bagus, menurut Putra, adalah yang diyakini mampu dijadikan "penjaga rumah". "Auranya menolak kehadiran pencuri dan bahaya api atau kebakaran. Saya punya sebilah keris yang auranya menyebabkan pemiliknya dalam kondisi ’selalu tertolong’ dan dicintai sesama makhluk. Sangat baik dipakai menghadap pejabat negara atau seseorang yang diharapkan pertolongannya," kata Putra menjelaskan.
Kawali lainnya, yakni jenis gecong, lanjut Putra, pada penciptaan pertamanya dibuat dari daun nipah yang "diurut" dengan tenaga supranatural sehingga mengeras seperti besi. "Inilah keris Bugis yang paling tipis dan berbau harum, dan inilah keris yang biasanya dipakai oleh raja-raja. Sebab, auranya selalu mau menjadi pemimpin. Namun, banyak juga kawali jenis gecong yang pamornya justru untuk membunuh atau minum darah. Raja yang menggunakan keris ini selalu ingin perang," kata Putra lagi.
Untuk menguji sebuah keris, saran Putra, pegang bagian ujungnya dengan ujung jari. "Bila terasa sejuk, itulah keris untuk perdamaian dan kesejahteraan. Namun, bila terasa panas, apalagi sakit di ujung jari, maka itulah jenis keris pembunuh," tutur Putra.
Ada beberapa turunan bangsawan di Sulawesi Selatan yang beranggapan bahwa keris pusakanya adalah saudara kembar yang setia sehingga tidak pernah berpisah dengannya, sekalipun si pemilik tidur. Bahkan, banyak aparat keamanan yang merasa lebih aman dengan kerisnya daripada senjata api yang dimilikinya. 


Suasana ritual
Pembuatan kawali berlangsung dalam suatu suasana ritual. "Kalau ada keris dibuat tanpa upacara ritual, maka keris itu pamornya sama saja dengan pisau dapur, dan hal seperti itu sudah banyak terjadi sekarang," kata Putra lagi.
Pembuatan sebilah kawali umumnya selesai dalam tujuh hari. Namun, karena pembuatannya hanya dilakukan pada hari Jumat, maka satu keris dengan pamor yang diharapkan akan selesai dalam tujuh hari Jumat berarti membutuhkan waktu 49 hari.
"Selama berlangsungnya pembuatan kawali, panritanya terus-menerus berzikir. Karena itu, banyak kawali yang punya getaran-getaran zikrullah," ucap Putra.
Ia menambahkan, tidak jarang juga pamor yang muncul dari keris yang dibuat membawa masalah sehingga pemiliknya justru tertikam, atau usahanya gagal, atau selalu sakit-sakitan. "Ini terjadi pada kawali yang tidak punya getaran zikrullah," demikian pendapat Putra.
Sekarang ini masih adakah keris yang diciptakan dari batu meteor? Menurut Putra, yang ada sekarang adalah parang besar dari zaman lampau yang terbuat dari meteor. Itulah yang dipotong-potong dan ditempa menjadi keris. Tapi, yang seperti itu pun sudah jarang terjadi. Keris yang banyak dipakai saat ini adalah keris yang terdeteksi oleh detektor metal karena umumnya terbuat dari velg bekas. 

*FAHMY MYALA Wartawan, Tinggal di Makassar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar